Sign up for PayPal and start accepting credit card payments instantly.

Lampe Berger And Estebel

Lampe Berger  And Estebel

MENU

Senin, 11 Februari 2008

Mendeteksi dan Mencegah Penyakit Influensa

WHO menyatakan bahwa awal tahun 2006 ini merupakan saat terdekat terjadinya pandemi flu sejak pandemi terakhir tahun 1968.
Data yang ada menunjukkan bahwa wabah infeksi H5N1 hanya kurang satu syarat lagi untuk menjadi ”calon” pandemi, yaitu belum ditemukan bukti penularan antarmanusia di masyarakat.
Pengalaman masa lalu, pandemi tahun 1918, misalnya, menunjukkan bahwa korban manusia dapat sampai puluhan juta orang. Sementara itu, serangan SARS tahun 2003—kendati tidak merupakan pandemi—punya dampak ekonomi, sosial, bahkan politik yang amat berarti. Artinya, kalau memang akan terjadi pandemi influenza, dampaknya akan sangat luas dan mengenai berbagai segi kehidupan masyarakat.
Harus diakui bahwa flu burung merupakan salah satu kemungkinan penyebab pandemi influenza, dan tugas kita sekarang adalah bagaimana mendeteksinya, sedapat mungkin mencegahnya atau setidaknya meminimalisasi dampak buruknya.
Lebih menguntungkan
Kalau bicara menghadapi kemungkinan pandemi, sebenarnya keadaan kita kini jauh lebih baik daripada masa lalu. Setidaknya ada tiga alasan yang mendasarinya.
Pertama, kini—sejak akhir tahun 2003—kita seakan telah mendapat warning dengan jatuhnya kasus flu burung pada manusia, yang sampai Februari 2006 telah terjadi pada 169 pasien di 7 negara, 91 di antaranya meninggal dunia.
Pada saat pandemi yang lalu tidak ada warning seperti ini, pandemi tiba-tiba saja datangnya. Dengan adanya warning, seyogianya persiapan dapat dibuat lebih baik dan diharapkan korban tidak jatuh terlalu banyak seperti di masa lalu.
Kedua, pada saat ini belum ditemukan bukti adanya penularan antarmanusia di masyarakat dari virus H5N1, sementara virus influenza penyebab pandemi influenza yang lalu memang sejak awal telah menyebar antarmanusia dengan mudah.
Tentu saja hal ini secara teoritis mungkin saja berubah di masa datang. Setidaknya ada dua teori perubahan yang terjadi.
Pertama, yang banyak dibicarakan, adalah kalau virus H5N1—yang menyebabkan sekitar 50 persen kematian pada manusia tetapi untungnya tidak menular antarmanusia—bertemu dan ”bercampur” dengan virus influenza manusia biasa, katakanlah H1N1 yang memang tidak mematikan tetapi amat mudah menular antarmanusia.
Nah, kalau H5N1 dan H1N1 ini ”bercampur” jadi satu dan membentuk virus subtipe baru, maka sang virus baru ini akan mematikan seperti H5N1 dan mudah menular seperti H1N1, inilah yang amat berbahaya, inilah yang harus diwaspadai dan masalah inilah yang harus dicegah.
Sementara itu, teori perubahan kedua adalah terjadinya perubahan secara bertahap, sedikit demi sedikit dari virus H5N1 sehingga kemudian bermutasi dan dapat menular antarmanusia serta tetap mematikan seperti sekarang ini.
Di pihak lain, hal menguntungkan yang ketiga adalah sudah mulai dilakukannya berbagai penelitian ilmiah di bidang epidemiologis, terapi, dan vaksin di bidang flu burung. Memang hingga kini belum ada vaksin yang definitif, tetapi setidaknya jalan ke arah ditemukannya vaksin sudah tampak dan sudah pula dilakukan penelitian pada manusia di beberapa negara. Artinya, kalau nanti benar-benar ada ancaman pandemi influenza, mudah-mudahan sudah ada vaksin yang tersedia.
Analisis situasi
Setidaknya ada enam hal yang kini nyata dihadapi dunia, termasuk juga Indonesia tentunya.
Kita harus mengenal keenam hal ini dan membuat persiapan dalam menghadapinya.
Pertama, suka atau tidak suka, semua pihak harus menyadari bahwa memang ada risiko besar akan terjadi pandemi influenza.
Kedua adalah kenyataan bahwa ancaman pandemi ini ternyata menetap. Hal ini terjadi karena wabah flu burung di binatang masih akan terus ada, bahkan yang tadinya hanya di Asia kini sudah ke Timur Tengah dan Eropa. Artinya, potensi sumber penularan dari binatang ke masyarakat masih ada dan tampaknya belum terlihat tanda berkurang, bahkan tambah meluas.
Ketiga, kita tidak dapat secara pasti memprediksi pola mutasi yang ada pada virus influenza H5N1 dan juga jenis virus influenza lainnya. Apalagi infeksi tidak hanya terjadi di unggas, tetapi mungkin juga terjadi di binatang lain, seperti babi, kucing, macan, ikan, dan juga manusia. Bagaimana perubahan yang terjadi di masa datang tak sepenuhnya bisa ditata secara ilmiah dan banyak sekali yang terjadi secara alamiah belaka dan sulit diketahui arahnya.
Keempat yang terjadi adalah sulitnya membangun early warning system. Banyak faktor yang berperan di sini, antara lain begitu luasnya orang yang memelihara unggas dan tidak mungkin semua ayam dibunuh guna menghindari penyebaran. Dari kacamata manusia, maka diagnosis dini juga sulit dilakukan dan diagnosis pasti pun butuh alat laboratorium canggih (kultur virus, PCR, serologi ketat, dan lain-lain).
Kelima, yang kita hadapi adalah soal pencegahan. Seperti dibahas di atas, vaksin masih dalam penelitian, sementara itu obat antivirus ternyata ketersediaannya di dunia juga terbatas, bahkan perlu dicari obat baru yang lebih ampuh lagi.
Keenam, kalau-kalau saja pandemi betul-betul terjadi— mudah-mudahan tidak terjadi—dunia akan dihadapi dengan keterbatasan kemampuan pelayanan kesehatan untuk menangani tambahan jutaan kasus pasien.
Dalam keadaan ”normal” seperti sekarang saja kita masih sering mendengar berbagai keluhan tentang pelayanan kesehatan. Kalau ada pandemi, tentu kalangan kesehatan di dunia akan mendapat tantangan kerja yang amat berat
Virus ”novel”
Yang banyak ditanyakan orang adalah kapan kira-kira pandemi akan terjadi. Saat ini memang tidak ada orang yang dapat menjawab dengan pasti.
Indonesia kini ada dalam stadium 3 pandemi, suatu keadaan yang menunjukkan telah ditemukan infeksi pada manusia akibat H5N1 tetapi tidak ada penyebaran manusia ke manusia atau kalau toh ada hanya terjadi pada keluarga/kontak yang amat dekat saja.
Kita tidak tahu apakah situasi Indonesia akan makin memburuk ke stadium 4, 5, dan 6 (pandemi luas) atau justru membaik ke stadium 2 di mana tidak ada korban manusia lagi.
Untuk mendeteksi dini kemungkinan pergeseran ke stadium 4 menuju ke arah pandemi ada beberapa langkah yang dapat dilakukan.
Pertama, tentu melihat perluasan penyakit di masyarakat, seperti adanya ”wabah” penyakit saluran napas yang tidak diketahui sebabnya di satu desa atau daerah.
Kedua, kalau cluster yang sakit makin meluas, bukan hanya dua atau tiga orang seperti sekarang ini.
Ketiga, kalau ditemukan virus ”novel”, yaitu virus baru, katakanlah, misalnya, suatu virus yang dindingnya berasal dari virus flu burung dan bagian dalamnya adalah virus manusia.
Kewaspadaan harus amat ditingkatkan kalau si virus ”novel” ini ternyata kemudian menular ke lebih dari lima orang dan atau dari satu orang (primary case) menular ke beberapa orang sekaligus (secondary case) dan masing-masing kemudian menulari lagi ke orang lain (tertiary case).
Kalau hal-hal di atas ditemukan, maka itu merupakan deteksi dini bahwa kita akan segera memasuki stadium 4 di mana ditemukan cluster sekitar 25 orang di suatu tempat yang sama-sama menderita flu burung dalam kurun waktu dua minggu.
Pada fase ini juga ditemukan beberapa pasien di berbagai lokasi yang jatuh sakit tanpa jelas-jelas ada riwayat kontak dengan unggas yang sakit sehingga diduga merupakan penularan antarmanusia. Kalau sudah stadium 4, ancaman pandemi sudah benar-benar di pelupuk mata!
Langkah strategis
Untuk bersiap dan mencegah terjadi pandemi, ada beberapa langkah strategis yang perlu dilakukan.
Pertama, dan sangat penting, adalah harus terbina kerja sama antara kalangan kedokteran dan peternakan/kedokteran hewan. Setiap kegiatan harus dibahas dan berjalan bersama sehingga memberikan hasil maksimal dan jangan salah menyalahkan satu dengan lainnya.
Harus ada upaya bersama untuk menemukan kasus, baik pada hewan maupun manusia. Artinya, kalau ada laporan kenaikan kasus pada hewan, petugas kesehatan harus mewaspadai kemungkinan kasus juga pada manusia.
Langkah strategis kedua adalah harus dibina komunikasi yang intens ke masyarakat. Untuk perkotaan, hal ini perlu untuk menghindari kepanikan publik. Sementara itu, di daerah rural hal ini perlu utamanya untuk menjangkau peternak skala menengah dan kecil yang berjumlah jutaan orang.
Hal ketiga adalah meningkatkan ilmu virologi sehingga mampu mendeteksi perkembangan virus di masyarakat dan di lingkungan secara lebih mendalam. Dalam hal ini perlu diingat bahwa kegiatan surveilans biasa mungkin tidak memadai, harus lebih giat, terencana baik dan bersifat ”jemput bola” serta tidak hanya menunggu kalau ada masalah saja.
Langkah penting keempat adalah upaya meningkatkan kemampuan untuk mendeteksi dan mengobati kasus pada manusia. Untuk ini perlu dibuat algoritme klinik yang jelas, cukup sensitif dan spesifik, serta dapat dipertanggungjawabkan secara ilmiah. Algoritme diagnosis dan penanganan kasus ini kemudian disebarluaskan agar seluruh petugas kesehatan di pelosok mana pun dapat menerapkannya di lapangan.
Hal kelima yang penting adalah prioritas politik untuk penyediaan obat dan alat kesehatan untuk pencegahan dan penanganan kasus. Ini mudah diucapkan, tetapi sulit dilakukan.
Bila kasus belum kelihatan, pasien dan kematian belum banyak dan belum meresahkan, sering kali sumber daya diberikan ke sektor lain dan sektor kesehatan hanya dapat sedikit saja.
Kalau kita bicara persiapan menghadapi pandemi, walau pandemi belum terjadi seperti sekarang ini, maka sumber daya dan sumber dana untuk kesehatan harus mendapat prioritas penting sejak sekarang. Semua pihak harus bekerja keras. Kita tidak bisa hanya bereaksi business as usual. Semua pihak harus proaktif demi kepentingan kita bersama.*
(Source:by Ikabi, Dr Tjandra Yoga Aditama SpP(K), DTM&H, MARS Departemen Pulmonologi dan Kedokteran Respirasi FKUI/ RS Persahabatan)

Tidak ada komentar: